Selasa, 20 Mei 2014

Urgensi Pendidikan Karakter

BAB I
KAJIAN TEORI

A.    Pengertian Pendidikan Karakter
Secara bahasa, karakter dapat pula dipahami sebagai sifat dasar, kepribadian, perilaku/tingkah laku, dan kebiasaan yang berpola. Perspektif pendidikan karakter adalah peranan pendidikan dalam membangun karakter peserta didik. Pendidikan Karakter adalah upaya penyiapan kekayaan batin peserta didik yang berdimensi agama,  sosial, budaya, yang mampu diwujudkan dalam bentuk budi pekerti, baik dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian.
Menurut Elkind & Sweet (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Albertus (2010:03) menyatakan bahwa pendidikan karakter terdiri dari dua kata yang apabila dipisahkan memiliki makna masing-masing. Pendidikan adalah selalu berkaitan dengan hubungan social manusia, manusia sejak lahir tidak dapat hidup sendiri tetapi membutuhkan orang lain, sedangkan karakter bersifat lebih subjektif hal tersebut dikatakan demikian karena berkaitan dengan struktur antopologis manusia dan tindakannya dalam memaknai kebebasan
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat    atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
Bedasarkan Pengertian di atas, maka sudah seharusnya Pendidikan karakter terdapat dalam pendidikan formal khususnya  lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, MAK dan Perguruan Tinggi melalui pembelajaran, dan ekstrakurikuler, penciptaan budaya satuan pendidikan, dan pembiasaan. Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Berdasarkan beberapa pengertian para ahli, Penulis berpendapat bahwa pendidikan karakter merupakan segala usaha yang dilakukan guru untuk menciptakan suasana pembelajaran dalam mempengaruhi peserta didik. Dengan pendidikan karakter diharapkan lembaga pendidikan dapat membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.

B.     Urgensi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter sangat penting dalam pembangunan moral dan pendidikan bangsa dan Negara, hal ini juga dapat dilihat sesuai dengan Fungsi Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan karakter dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
DIKTI (2010) menyatakan bahwa secara khusus pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu :
1.      Pembentukan dan Pengembangan Potensi
Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.
2.      Perbaikan dan Penguatan
Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan warga negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa yang berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera.
3.      Penyaring
Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat
menurut Menurut UU No 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa yang bermartabat. Ada 9 pilar pendidikan berkarakter, diantaranya adalah:
  1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaannya
  2. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian
  3. Kejujuran /amanah dan kearifan
  4. Hormat dan santun
  5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong/ kerjasama
  6. Percaya diri, kreatif dan bekerja keras
  7. Kepemimpinan dan keadilan
  8. Baik dan rendah hati
  9. Toleransi kedamaian dan kesatuan
Pada hakikatnya pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
C.    Kelemahan dan Keunggulan Pendidikan Karakter di Indonesia
Dalam kaitan dengan pemahaman watak masyarakat Indonesia yang perkembangan terakhirnya kini dinilai menyimpang dari nilai-nilai watak yang diharapkan, maka peran pendidikan baik formal maupun nonformal menjadi sangat penting. Pendidikan sebagai proses humanisasi menekankan pembentukan makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan  sensitivitas /kedaulatan  budaya, yaitu manusia yang bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, dan permasalahan silang budaya. Tentang kelemahan penididikan karakter di Indonesia, dapat di lihat pada beberapa permasalahan pendidikan karakter di Indonesia yang di uraikan sebagai berikut :
1.      Fungsi pendidikan yang diamanatkan UU 20 Th 2003 tentang Sisdiknas yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak terimplementasikan dalam kurikulum secara integratif. Mata pelajaran dalam pelaksanaannya hanya bertanggungjawab terhadap inti mata pelajaran itu sendiri. Misal mata pelajaran fisika kompetensi kognitifnya lebih diutamakan sedangkan aspek lain jarang atau bahkan diabaikan. Pelajaran lain juga serupa, kecuali pelajaran Agama, dan pelajaran Moral Pancasila yang dianggap masih memiliki banyak muatan yang mengarah pada pembentukan karakter siswa. Begitu pula dengan tujuan pendidikan nasional yang bangunannya tersusun capaian tujuan institusional, kurikuler, dan atas kompetensi dasar dari berbagai mata pelajaran masih belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Perilaku siswa di sekolah dan lulusan di masyarakat belum secara kuat menunjukkan hasil pendidikan yang bermutu. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 
2.      Masih belum mantapnya budaya nasional yang secara konseptual dapat diaplikasikan secara merata pada seluruh lapisan masyarakat menyebabkan manusia Indonesia kurang memiliki karakter yang kuat. Hal ini disebabkan Indonesia merupakan negara yang terbentuk dari multikultur, multi etnik, multi agama, multi bahasa, dan ragam kekhasan lokal lainnya. Endang Poerwanti (2004) menjelaskan bahwa Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada,  karena kebudayaan Nasional tersebut baru pada taraf pembentukan.  Dengan berpijak pada pemahaman  tersebut, nampak bahwa kebijakan pendidikan yang sentralistik menjadi tidak relevan. Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat  tidak akan melepaskan diri dari  prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal.  Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi dan humanisasi. Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tampaknya cukup mengakomodasi keinginan di atas. Namun dalam pelaksanaannya juga masih belum mencapai sasaran yang diharapkan.
3.      Program pendidikan, termasuk penataran P4 yang harapannya dapat memperkuat karakter manusia Indonesia tidak mencapai sasarannya. Bahkan ada yang mengatakan “makin tinggi pola penataran P4 yang diikuti seseorang makin lemah karakter nasionalismenya”. Termasuk pula pendidikan Pramuka yang pada awalnya lebih menunjukkan hasil pembentukan karakter yang kuat pada anggotanya, kini pendidikan Pramuka hanya sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat pilihan.
Selain memiliki kekurangan-kekurangan, terdapat juga beberapa kelebihan tentang pendidikan karakter yang ada di Indonesia, antar lain adalah :
1.      Pendidikan karakter di Indonesia berdasarkan Nilai-nilai Islam
Indonesia dalam melaksanakan pendidikan karakter bangsa berdasarkan agama islam. Dalam Islam, tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-etika Islam. Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama, pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia barat. Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hukum dalam memperkuat mralitas, perbedaan pemahaman tentang kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral sebagai tujuan pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku bermoral.
Inti dari perbedaaan-perbedaan ini adalah keberadaan wahyu ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan karakter dalam islam. Akibatnya, pendidika karakter dalam Islam lebih sering dilakukan dengan cara doktriner dan dogmatis, tidak secara demokratis dan logis.
2.      Pendidikan karakter di Indonesia memiliki landasan yang kokoh
Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu telah ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
            Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal tersebut sudah tertuang pada fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)).
            Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh untuk melaksanakan secara operasional pendidikan karakter sebagai prioritas program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010). Isi dari rencana aksi tersebut adalah bahwa “pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati”.
3.      Tujuan pendidikan karakter di Indonesia berdasarkan agama islam
Tujuan dari pendidikan karakter di Indonesia itu adalah: pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh yang baik, seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan keduanya. Kemudian setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang baik tersebut dengan meninggalkan yang buruk. Dengan karakter yang baik maka kita akan disegani orang. Sebaliknya, seseorang dianggap tidak ada, meskipun masih hidup, kalau akhlak atau karakternya rusak.






Manajemen Konflik

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada hakikatnya konflik yang timbul dalam sebuah organisasi adalah sebagai suatu yang wajar dan dominan. Karena konflik sebenarnya merupakan dinamisator organisasi. Pandanglah bahwa organisasi tanpa konflik akan bermakna diam, statis, dan tidak mencapai kemajuan yang diharapkan. Konflik yang terjadi dalam sebuah manajemen atau organisasi tidak harus selalu diartikan secara negatif, tapi bisa jadi konflik itu memang sengaja dimunculkan untuk menciptakan dinamika majanemen. dengan tujuan meningkatkan etos kerja dan daya saing antar pekerja. Dalam hal  ini, konflik akan dapat terarahkan dan terkendalikan oleh peran seorang pemimpin organisasi tersebut.
Dalam sebuah organisasi, pemimpin adalah pemegang keberhasilan sebuah organisasi yang dipimpinnya.  Baik buruknya maupun maju mundurnya lembaga tersebut tergantung kemampuan seorang pemimpin dalam mengupayakan dan berperan sebagai seorang figur yang diteladani dan dihormati. Dan profesionalisme adalah kunci dari keberhasilan peran itu, pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu mempengaruhi perilaku individu-individu, untuk menunaikan tugasnya dalam rangka memberikan arahan dan petunjuk, mewujudkan target bersama, mengembangkan, memegang teguh, dan menjaga kekuatan kelompoknya. Demikian juga untuk meminimalizir, mengarahkan serta memanfaatkan konflik yang muncul, peran besar pemimipin sangat diperlukan, karena pemimpin merupakan orang yang memiliki pengaruh besar dalam sebuah organisasi.
Akan tetapi, kenyataannya pada beberapa organisasi masih terdapat banyak pemimpin yang belum mampu membawa pengaruh bagi organisasi yang dipimpinnya, khusunya dalam mengendalikan serta memanfaatkan konflik yang datang menghalangi dalam pencapai tujuan manajemen organisasi yang dipimpinnya. Sehingga tidak sedikit organisasi yang hancur akibat kurangnya peran seorang pemimpin. Oleh karena itu, berangkat dari latar belakang diatas, penulis termotivasi untuk menyusun makalah dengan judul “ peran pemimpin dalam mengendalikan konflik”.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa Pengertian Pemimpin ?
2.      Apa Pengertian konflik ?
3.      Bagaiman peran pemimpin dalam mengendalikan konflik ?

C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui Pengertian pemimpin
2.      Untuk mengetahui Pengertian konflik
3.      Untuk mengetahui peran pemimpin dalam mengendalikan konflik



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pemimpin
Pemimpin merupakan seseorang yang menggunakan kemampuannya, sikapnya, nalurinya, dan ciri-ciri kepribadiannya yang mampu menciptakan suatu keadaan, sehingga orang lain yang dipimpinnya dapat saling bekerja sama untuk mencapai tujuan. Lebih jelasnya, Terdapat beberapa Pengertian menurut para ahli, yaitu sebagai berikut :
1.      Henry Pratt Faiechild dalam Kartini Kartono (1994 : 33) Pemimpin dalam pengertian ialah seorang yang dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain atau melalui prestise, kekuasaan dan posisi. Dalam pengertian yang terbatas, pemimpin ialah seorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya dan akseptansi/ penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya.

2.      Modern Dictionary Of Sociology (1996) Pemimpin (leader) adalah seseorang yang menempati peranan sentral atau posisi dominan dan pengaruh dalam kelompok (a person who occupies a central role or position of dominance and influence in a group).

3.      Kartini Kartono (1994. 33) Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kclebihan disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang mempunyai peranan sentral dan berada diposisi yang tertinggi serta dapat mempengaruhi orang lain hingga membawa perubahan melalui pengorganisasian, pengarahan dan bimbingan dengan didukung oleh kelebihan, kemampuan atau berkompeten menjadi seorang pemimpin.

Miftha Thoha dalam bukunya Prilaku Organisasi (1983 : 255) Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasannya. Dengan kata lain, tanpa kemampuan memimpin sesorang pemimpin tidak akan mempengaruhi orang yang dipimpinnya.

B.     Pengertian Konflik
Konflik dalam bahasa yunani bermakna configere, conflictum berarti saling berbenturan. Arti kata tersebut, menunjukkan pada semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi, dan interaksi-interaksi yang antagonis bertentangan. Sedangkan Definisi konflik menurut para ahli adalah :
1.      Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik adalah kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4)

2.      Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) yaitu : Conflict is a situation which two or more people disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism with one another.
yang kurang lebih artinya konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.

3.      Menurut Nardjana (1994) Konflik yaitu akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.

Demikian beberapa pendapat para ahli mengenai Pengertian konflik. Penulis mangambil kesimpulan bahwa konflik adalah sebuah situasi yang menyebabkan terjadi masalah dalam sebuah organisasi baik antar orang-orang didalam organisasi maupun yang berasal dari luar, akibat adanya perbedaan atau ketidakcocokkan pendapat, perasaan atau tindakan antara satu dengan yang lainnya.
Secara umum, konflik sebenarnya terbagi atas dua yaitu konflik membawa dampak positif dan konflik yang membawa akibat negatif. Namun konflik yang dimksud penulis pada makalah ini adalah konflik yang dapat membawa masalah sehingga mengakibatkan kehancuran sebuah organisasi maupun lembaga apabila tidak diarahkan atau diselesaikan oleh peran seoang pemimpin.
C.    Peran Pemimpin Dalam Mengendalikan Konflik
Prestasi kepemimpinan akan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar seorang pemimpin dalam proses kepemimpinannya bisa mengendalikan suatu masalah yang “terbungkus” dalam konflik. Dan oleh karena itu diperlukan suatu ketrampilan tersendiri bagi seorang pemimpin dalam menangani dan memecahkan sebuah konflik, baik konflik pribadi, konflik antar individu, maupun konflik antar kelompok, diantaranya :
1.      Memahami konflik sebagai sebuah fakta kehidupan
Pada dasarnya “konflik” adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan. Tak terkecuali dalam proses kepemimpinan pendidikan Islam. Akan tetapi, sebuah kebimbangan dalam menangani sebuah konflik muncul, bahwa ada beberapa mitos yang secara umum terjadi terkait dengan konflik:

a.       Adanya konflik merupakan pertanda kelemahan manajer (pemimpin)
b.      Konflik merupakan pertanda rendahnya perhatian pada organisasi (lembaga)
c.       Kemarahan adalah negatif dan merusak
d.      Konflik, jika dibiarkan, akan reda dengan sendirinya.
e.       Konflik harus dipecahkan.

Mitos ini menghambat kreatifitas, menyebabkan seorang pemimpin menjadi berorientasi pada solusi. Beberapa konflik paling baik dikelola dengan sabar, sementara yang lainnya menghendaki dengan cara pemecahan. Gerak cepat untuk menyelesaikan konflik dapat membatasi keberhasilan. Dan fokus yang berlebihan pada pemecahan masalah dapat menjadi tidak produktif. Pemikiran yang berfokus tunggal, yang kadang-kadang terjadi bila seorang pemimpin merasa yakin bahwa dirinya harus menemukan sebuah solusi, dapat menyebabkan dirinya kehilangan perspektif. Kegagalan untuk melihat gambar yang besar sementara bertahan dengan masalah yang khusus, dapat menjadi suatu perangkap yang besar pada waktu terjadi konflik.
2.      Karakteristik konflik
Ada beberapa karakter yang dipunyai oleh konflik, yaitu:
a.       Dengan meningkatnya konflik, perhatian terhadap konflik itu sendiri juga meningkat.
b.      Keinginan untuk menang seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi.
c.       Orang yang menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi yang lain seiring dengan meningkatnya konflik.
d.      Strategi manajemen konflik yang bekerja pada tingkat konflik yang rendah, pada konflik tingkat tinggi sering tidak efektif, dan kadang-kadang menjadi tidak ada artinya.
e.       Konflik dapat melampaui dari tahapan yang lazim.
f.       Orang tampaknya menjadi seperti individu yang berbeda selama berada dalam konflik, tapi konflik yang terjadi pada seluruh tingkat organsisasi dapat diidentifikasikan.
3.      Mengidentifikasi Tahap-tahap konflik
Sebagaimana dinyatakan oleh Hendrick, bahwa secara umum ada tiga tahapan konflik yang pada dasarnya merupakan suatu rangakaian yang dapat dikelola. Tiga tahapan konflik itu antara lain:
a.       Konflik sebagai peristiwa sehari-hari.

Konflik tahap ini biasanya ditandai oleh perasaan jengkel sehari-hari. Perasaan jengkel ini dapat berlalu begitu saja, kadang-kadang muncul tidak menentu. Tapi rasa jengkel dapat menjadi masalah. Strategi manajemen konflik pada tingkat ini harus memeperhatikan apakah rasa jengkel itu berganti menjadi masalah.
Menghindari adalah salah satu strategi manajemen konflik yang efektif untuk menagangani kejengkelan sehari-hari. Kita lebih baik melupakan kejengkelan daripada menghadapinya, sebab itu adalah masalah kecil. Dan strategi manajemen konflik yang hati-hati dan penuh kesabaran dipakai untuk menghindari konflik yang terbuka, juga dilakukan bila seorang pemimpin tidak mempunyai waktu yang cukup dan motivasi untuk mengubah kebiasaan orang lain.
Konflik pada tahap satu ini adalah nyata, meskipun intensitasnya rendah. Ketika orang bekerja sama, ada perbedaan dalam tujuan, nilai-nilai yang dianut dan kebutuhan. Pada tahap satu ini kelompok merasa tidak cocok dan mungkin marah, pasti emosinya “cepat mereda”. Individu biasanya sadar dan bersedia membuat solusi selama tahap konflik satu, seiring dengan perasaan optimis merasa bahwa penyelesaian itu dapat disusun.
Mendengarkan serta berpartisipasi adalah sesuatu yang essential pada penyelesaian konflik tahap ini. Seperti seorang pemimpin yang menyelesaiakn konflik, berinisiatif untuk belajar dan bekerja sama dengan menekankan pada tanggung jawab bersama pada tim kerja. Strategi ini menfokuskan pada semua partisipan untuk berada pada arahan umum dan membolehkan setiap orang memberikan kontribusi.
Ada beberapa cara dalam menangani konflik pada tahap satu ini, yaitu:
a.       Membuat suatu proses yang menguji dari dua sisi. Dapatkah suatu kerangka dibuat sehingga mampu meningkatkan pemahaman satu sama lain.
b.      Bertanyalah jika reaksi itu proporsional dengan keadaan. Apakah kelompok ini membawa sisa emosi dan peristiwa lain ?
c.       Identifikasikan poin-poin kesepakatan dan bekerjalah menurut poin-poin tersebut, kemudian baru mengidentifikasikan poin-poin ketidaksepakatan.

b.      Konflik sebagai tantangan.

Pada tahap dua ini, orang menjaga dan mempertahankan kemenangan verbal dan merekam kesalahan, dan melihat dari satu sisi. Dan tingkat komitmen diperlukan untuk bekerja kendati konflik juga meningkat. Karena konflik pada tahap dua ini lebih kompleks, masalah tidak dapat lebih lama dikelola dengan strategi penanganan konflik secara sabar dan hati-hati. Pada tahap ini orang adalah masalah. Mendiskusikan dan menjawab isu kadang-kadang tidaik ada menfaatnya sebab orang dan masalah yang dihadapi menjadi rumit. Untuk melakukan strategi pada pengelolaan konflik yang efektif pada tahap dua adalah seorang pemimpin harus melakukan strategi mengelola orang.
Seperti seorang pemimipin yang bekerj dengan bawahan, perhatikan kata-kata untuk memaparkan sebuah konflik atau ketidaksetujuan. Pada tahap kedua bahasa menjadi kurang spesifik, karena orang berbIcara secara umum. Dan kelompok kurang suka mencari fakta yang akurat tentang lawan dalam konfliknya sebab tingkat kepercayaan sudah menurun.
Di bawah ini beberapa gagasan dalam menangani konflik tahap dua, antara lain:
a.       Buatlah suasana yang aman dan ciptakan suatu lingkungan di mana setiap orang merasa aman.
b.      Tegaslah terhadap fakta, tapi lunak terhadap orang. Ambillah penambahan waktu untuk mendapatkan setiap detail.
c.       Buatlah pekerjaan resmi sebagai pekerjaan tim, dan bagilah tanggung jawab sehingga setiap orang mempunyai alternatif untuk dapat menyesuaikan diri. Tekankan pentingnya kesatuan tanggung jawab.
d.      Carilah kesepakatan minimal, tapi tidak dianjurkan membuat kompromi. Karena kompromi secara tidak langsung akan mengorbankan poin yang menjadi harapan.
e.       Berikan waktu untuk menarik kelompok yang bersaing menerima kesepakatan tanpa memberikan konsesi atau mengeluarkan tekanan.
f.       Ingat, ini adalah upaya keras dan susah untuik mendudukkan orang yang sedang bersaing untk berada dalam satu meja.
.
c.     Konflik sebagai pertentangan.

Pemimpin yang muncul dari kelompok yang berkonflik bertindak sebagai juru bicara. Pihak luar dituduh sebagai pihak yang menyebabkan timbulnya konflik.
Jika konsensus tidak dapat dicapai, arbitrase dapat digunakan untuk tahap berikutnya. Masing-masing kelompok akan memaparkan kasusnya dengan cara yang paling baik, dan salah satu sisi dipilih. Negosiasi dan arbitrase adalah sebagai alat yang diperlukan oleh seorang pemimpin.
Ada beberapa cara untuk menangani konflik tahap tiga, yaitu:
a.       Detail adalah penting, arinya bahwa campur tangan tim dari luar harus mau memperhatikan setiap detail.
b.      Lembaga harus menyediakan waktu tambahan untuk mewawancarai semua orang yang terlibat dalam konflik.
c.       Alasan dan logika tidak efektif untuk menyadarkan kelompok yang sedang bertikai untuk mengakhiri konflik.
d.      Jelaskan tujuan dari lembaga dan ciptakan suasana yang menumbuhkan rasa dituntun sehingga individu yang terlibat konflik itu akan mundur sebagi pemenang.

4.      Strategi Mengatasi atau Mengendalikan Konflik

Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
a.       Pengenalan. Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).

b.      Diagnosis. Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.


c.       Menyepakati suatu solusi. Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.

d.      Pelaksanaan. Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.

e.       Evaluasi. Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.

Stevening menawarkan, bagi seorang pemimpin ketika mengendalikan atau mengatasi konflik harus melalui lima tahapan cara yaitu mengenali konflik yang dihadapi, setelah dikenali lalu mendiagnosa atau mengidentifikasi konflik tersebut, lalu cari dan disepakati sebuah solusi melalu musyawarah dengan pegawai, karyawam ataupun bawahan, kemudian lanjut pelaksanaan solusi tersebut serti pemimpin selalu mengadakan evalusai untuk mengetahui tingkat kebehasilan solusinya dalam mengatasi atau mengendalikan konflik.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemimipin adalah orang yang paling berperan dalam pengendalian sebuah organisasi, juga sebagai pusat penggerak serta mempunyai andil besar dalam pencapaian tujuan organisasi tersebut. Namun pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menjadikan masalah-masalah yang datang menjadi peluang bagi organisasi.
Konflik atau masalah sudah merupakan hal yang tidak dapat dilepas dari sebuah organisasi atau lembaga, karena konflik sudah merupakan bagian dari tercapainya suatu tujuan organisasi. Tergantung pemimpin bagaimana memanfaatkan setiap konflik tersebut.

B.     Saran

Sebuah organisasi tidak akan pernah terlepas dari yang namanya konflik. Dan untuk mengarahkan hingga menyelesaikan konflik tersebut membutuhkan peran besar dari seorang pemimpin. Maka dari itu, sangat penting bagi seorang pemimpin memiliki kelebihan dan kemampuan dalam menjalankan kepemimpinan dalam sebuah organisasi atau lembaga.